BIRO UMUM HUMAS & PROTOKOL

SEKRETARIAT DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Orasi Kebudayaan PEMIMPIN PANCASILA DALAM PERSPEKTIF BUDAYA

Pesan Bung Karno itu, menafsirkan Pancasila sebagai “philosofische grondslag'" -dasar filosofis bangsa yang mengandung kearifan, yaitu sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup, atau “Weltanschauung” yang berakar pada budaya bangsa.

 

Kearifan Bangsa

Di depan Sidang Umum PBB tahun 1960, Bung Kamo menawarkan Pancasila sebagai “kearifan bangsa-bangsa” untuk menjamin perdamaian dunia dalam pidatonya: “To Build the World a New'”. Bagaimana pun, Pancasila tetap menjadi sumber semangat, kekuatan dan kearifan bangsa, itulah yang menyadarkan bangsa ini setiap menghadapi cobaan, kemelut dan krisis, serta menjadi wahana merajut kembali persatuan dan kesatuan yang retak.

Namun sayangnya, meski falsafah kita selalu ingin memelihara semangat gotong-royong, serta mengedepankan mufakat dalam musyawarah sebagai kearifan bangsa, tetapi kita seringkali suka bertindak sendiri-sendiri tanpa batas, dan pandai melakukan rekayasa dalam berdemokrasi. Padahal, sejak dulu di masyarakat pedesaan telah memiliki embrio demokrasi dalam suatu lembaga rembug desa.

 

Demokrasi Desa

Dalam berbagai nama, bentuk, versi dan variasinya, namun dengan visi dan substansi yang sama, masyarakat desa bangsa Indonesia telah memiliki dan mengembangkan tradisi demokrasi melalui dialog terbuka, akrab dan hangat antarwarga sebelum memperoleh suatu kesepakatan. Mekanisme musyawarah- mufakat itu bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi telah mengakar dan dilestarikan dengan baik dalam praktik kehidupan guyub-rukun.

Dalam masyarakat desa tradisional situasi sosial pada dasarnya bersifat adil dan stabil. Maka, kalau terjadi perbedaan pendapat yang menjurus pada pertentangan kepentingan antarwarga, biasanya semua pihak ditekan agar bersedia menahan diri. Dengan demikian, mekanisme pemecahan konflik yang tersedia dalam adat tradisional bertujuan untuk melestarikan keadaan dasar yang adil itu kembali, agar masyarakat tetap rukun.

Etika kerukunan hanya bisa bekerja dengan baik, ketika hubungan sosial bersifat adil dan stabil, di mana jarang terjadi perubahan-perubahan fundamental dan tantangan yang serba cepat. Tetapi kini kita terus-menerus dihadapkan pada tantangan dan masalah yang kompleks dengan ancaman konflik yang kian rumit dan meluas serta sering berkepanjangan menjadi semacam dendam turunan.

Demokrasi desa yang berakar pada konsep harmoni berjalan dalam suatu struktur sosial-budaya dan pandangan dunia yang amat berbeda dengan struktur yang sedang kita wujudkan di bawah hantaman proses reformasi sekarang ini. Tatanan sosial sekarang tidak hanya tidak stabil, tetapi juga tidak adil, yang tidak lagi kondusif bagi penerapan demokrasi tradisional.

Sehingga mustahil untuk menggali suatu mekanisme konsensus dari warisan tradisi yang dapat menjadi landasan kuat bagi tatanan kebangsaan yang demokratis untuk sebuah Indonesia Baru. Meminjam kata-kata Bung Hatta: “tidak ada demokrasi Indonesia, yang ada adalah demokrasi desa.

 

Berbudaya dalam Prinsip Selaras-Seimbang

Dalam menegakkan kondisi selaras-seimbang hubungannya dengan alam semesta dan masyarakat, sikap budaya etnik-etnik Nusantara tampaknya memiliki karakteristik yang serupa. Harmoni itu terekspresikan dalam lima Sila Pancasila. Sikap budaya harmoni itu banyak persamaannya dengan sikap budaya berbagai bangsa di Asia, antara lain Jepang.

Namun, sikap budaya itu berbeda, bahkan bertentangan dengan sikap budaya dunia Barat yang sejak renaisans mengambil sikap budaya yang menaklukkan alam (to conquer nature). Dengan sikap budaya itu dunia Barat mengembangkan ilmu pengetahuan secara dramatis dan kehidupan dinamis yang memandang konflik sebagai jalan kemajuan. Berdasarkan ilmu pengetahuan, Barat mengembangkan kehidupan materiilnya untuk meluaskan kekuasaan.

Jika sikap budaya harmoni memandang kebersamaan atau masyarakat sebagai pilar kehidupan, maka sikap budaya Barat menganggap individu manusia sebagai nilai utama. Itu sebabnya dunia Barat menghasilkan individualisme dan liberalisme, diikuti materialisme yang bermuara pada imperialisme dan kolonialisme.

Sebagaimana dibuktikan sejarah, sikap budaya harmoni bukan sesuatu yang pasif dan status quo. Sikap budaya harmoni berusaha melihat segi positif sesuatu yang datang dari luar, untuk diambil dan diintegrasikan dengan miliknya sendiri. Namun pengambilan itu tidak serta merta membuang yang lama meski berbeda, tetapi tetap dijaga kontinuitasnya. Itu terlihat dalam sejarah. Buktinya Raden Patah yang bertahta di kerajaan Islam, menyatakan Demak adalah kelanjutan Majapahit, bukan perpanjangan tangan satu kerajaan Arab.

Arnold Toynbee, sejarawan Inggris, mengutarakan, kebudayaan akan berkembang apabila ada keseimbangan antara tantangan (challenge) dan respons (response). Kalau tantangan terlalu besar, sedangkan kemampuan untuk merespons terlalu kecil, kebudayaan itu akan terdesak. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, justru akan menumbuhkan kreativitas masyarakat.

 

Menghidupkan Pancasila

Jika kita akan menghidupkan Pancasila menjadi living ideology, harus dilakukan dengan menghidupkan dan memperkuat budaya harmoni kita. Pancasila tak boleh mati, dan menjadi sebuah prasasti tanpa arti. Jangan sampai dengan alasan bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka, lalu dibelokkan dengan nama sama, seperti mengubah UUD 1945 amandemen yang jiwanya bertentangan dengan Pancasila.

Hal ini merupakan perjuangan yang tidak mudah, karena kita belum memiliki kehidupan modem yang berlandasan harmoni. Berbeda dengan Jepang, yang sejak Restorasi Meiji berhasil merebut keunggulan Barat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tetap menjaga kontinuitas budaya harmoni dalam kehidupan.

Di satu pihak, harus ditegakkan kembali sikap harmoni dalam budaya gotong royong. Di pihak lain, harus berani mengambil berbagai unsur luar yang bermanfaat, tanpa mengorbankan harmoni sebagai sikap budaya Indonesia. Usaha ini harus dilakukan dalam kondisi dunia yang penuh konflik. Ditambah kondisi masyarakat Indonesia sendiri yang seperti lepas kendali akibat pemanfaatan teknologi, tetapi masih saja terkungkung situasi nir-literasi.

 

Re-aktualisasi Nilai Demokrasi Pancasila dan Budaya di Era Modern

 

Saat ini, dimana horizon kecanggihan teknologi berkembang tak terbatas, TNI Angkatan Udara harus berdiri teguh di persimpangan antara tradisi yang dijunjung tinggi dan inovasi global yang teramat memesona. Di persimpangan ini, kiranya, filosofi "Amor patriae nostra lex"—yang dapat dimaknai sebagai “cinta tanah air adalah hukum kita”, sudah sepantasnya mengakar dalam jiwa setiap prajurit, mengingatkan bahwa cinta dan dedikasi kepada tanah air adalah dasar dari segala tindakan.

Upaya memadukan nilai Pancasila dan kearifan lokal dengan teknologi global, menjadi strategi terbaik, untuk membentuk masa depan pertahanan udara yang tidak hanya kuat, tetapi juga adil dan bijaksana. Melalui penerapan Kecerdasan Buatan (AI), TNI AU bukan hanya mengejar keunggulan dalam pertempuran dan strategi, tetapi juga memastikan, bahwa setiap langkah maju adalah resonansi dari harmoni dan keseimbangan yang ideal—di mana inovasi beriringan dengan integritas, dan kekuatan diimbangi dengan kearifan. Adapun implementasinya dijabarkan dalam nilai-nilai berikut:

  1. Pancasila sebagai Landasan Kepemimpinan

Ditinjau dari sisi filosofisnya, Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara merupakan landasan yang kuat dalam membangun karakter kepemimpinan yang bertanggung jawab dan etis. Adapun implementasinya, dalam menggunakan AI dan teknologi canggih, TNI AU harus memastikan bahwa penggunaan teknologi tersebut selaras dengan nilai-nilai keadilan sosial dan kemanusiaan yang ada di dalam Pancasila. AI harus digunakan untuk memperkuat pertahanan negara, tanpa mengesampingkan etika dan humanitas.

 

  1. Gotong Royong dalam Modernisasi

Konsep gotong royong—sebagai aktualisasi budaya, menekankan kerja sama dan kolaborasi, sebagai cara untuk mencapai tujuan bersama. Dalam mengembangkan dan mengimplementasikan solusi AI, TNI AU bisa mengadopsi pendekatan kolaboratif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk institusi akademik, industri teknologi, dan bahkan kerja sama internasional. Kerja sama ini memungkinkan pertukaran ilmu pengetahuan dan teknologi, sekaligus memastikan bahwa inovasi yang dihasilkan selaras dengan nilai-nilai lokal.

 

  1. Adaptasi dan Resiliensi

TNI AU harus menyongsong perubahan dan memiliki kemampuan untuk beradaptasi sebagai kunci untuk bertahan dan unggul. Kiranya, dalam menghadapi perkembangan teknologi yang cepat, TNI AU harus mampu beradaptasi dengan menerapkan AI—secara tepat guna— dalam strategi pertahanan. Hal ini tidak hanya meningkatkan efektivitas operasional, tetapi juga menjamin bahwa TNI AU dapat menjaga kedaulatan udara dalam berbagai skenario.

 

  1. Harmoni dan Keseimbangan

Dalam mengadopsi teknologi baru, TNI Angkatan Udara diharapkan menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas serta antara kebutuhan lokal dan global, memastikan bahwa sambil memperkenalkan inovasi, mereka tetap mempertahankan dan menghormati tradisi dan nilai-nilai budaya Indonesia. Implementasi ini menjamin integrasi teknologi secara harmonis yang sejalan dengan kebutuhan dan aspirasi nasional.

 

  1. Kepemimpinan Visioner

Seiring upaya memadupadankan kebijakan dan teknologi yang progresif untuk mencapai tujuan jangka panjang, pemimpin TNI Angkatan Udara harus memiliki visi ke depan yang jelas mengenai integrasi Kecerdasan Buatan (AI) dalam operasi militer, memastikan bahwa penerapan teknologi ini tidak hanya meningkatkan kemampuan pertahanan, tetapi juga mendukung aspirasi Indonesia untuk diakui sebagai kekuatan global yang dihormati.

 

Melalui nilai-nilai itulah, TNI Angkatan Udara mengemban amanat penting dalam merajut masa depan pertahanan, yang tidak hanya bertumpu pada kecanggihan teknologi semata, tetapi juga pada konsolidasi nilai-nilai kebudayaan yang mendalam. Dengan mengintegrasikan Kecerdasan Buatan dan inovasi terdepan lainnya, TNI AU tidak semata-mata meningkatkan kemampuan militernya, melainkan juga meneguhkan dan memperkuat jati diri nasional yang bersandar pada prinsip-prinsip Pancasila.

Lebih jauh lagi, dalam tatanan ideal tersebut, TNI AU tidak hanya mendapat pengakuan global karena keunggulan operasionalnya, tetapi juga karena komitmennya yang tak tergoyahkan terhadap nilai-nilai moral dan etis yang mendalam. Dengan menciptakan fondasi yang tak hanya kuat, tetapi juga mulia, TNI AU dapat menjelma sebagai lembaga pertahanan yang dihormati dan diteladani oleh bangsa-bangsa lain di seluruh dunia.

 

Catatan Akhir

Saat ini penting agaknya disitir kembali “Trisakti”-nya Bung Kamo: “berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan” dengan menambahkan konsep maju-mandiri di bidang teknologi. Apabila dikaitkan dengan eksistensi teknologi, prajurit dapat diibaratkan sebagai pilotnya, dan AI  sebagai co-pilot nya.  Di lain pihak, penting pula pendirian Moh Hatta, agar Pancasila tidak tampil eksklusif hanya penghias bibir (lipstick) akan tetapi berfungsi sebagai garam, tidak tampak namun terasakan.

Pancasila itu sendiri sebagai ideologi memiliki watak inklusif, terbukti dari simbolisme yang melekatinya, “Bhinneka Tunggal Ika”. Pancasila sebagai filsafat, sesungguhnya mengajarkan dimensi wisdom, namun belum banyak dielaborasi, baik dalam ranah ilmu maupun ranah politik pragmatis. Dalam perspektif budaya, kearifan bangsa yang terkandung dalam Pancasila, hendaknya dapat menjadi spirit dalam mengeliminasi fungsi distorsinya, membuat elegan fungsi legitimasinya, dan memperdalam fungsi integratifnya.

Mengingat betapa berat dan kompleksnya tantangan, maka diperlukan kepemimpinan kolektif yang kuat dan berjangka panjang, dimana nilai kepemimpinan itu memiliki akar dari berbagai aspek budaya dan kehidupan masyarakat Indonesia. Selain itu, TNI AU juga harus membuktikan kesetiaannya pada Pancasila, dan memiliki integritas diri serta memiliki bekal pengetahuan dan pengalaman yang cukup. Perjuangan yang tidak mudah ini, memerlukan kepemimpinan yang teguh, mempunyai pemahaman budaya dilandasi visi strategis yang jelas, berorientasi masa depan dan berskala global.