BIRO UMUM HUMAS & PROTOKOL

SEKRETARIAT DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

MERAWAT PERSATUAN, MENGHARGAI KEBERAGAMAN Disampaikan dalam: Program Pendidikan Reguler Angkatan

PADA hakikatnya Kebergaman adalah konsep Tuhan dalam misteri penciptaan alam semesta ini. Kita tahu pasti bahwa tidak ada satu ciptaan-Nya yang identik sama, pastilah ada banyak perbedaan meskipun sekilas nampak sama. Dalam hal ini, sangatlah jelas, bahwa keberagaman merupakan realita yang terjadi atas kehendak Sang Adi Kodrati.

 

Sehubungan dengan hal tersebut, maka apabila ada yang menentang realitas keberagaman, sesungguhnya ia sedang melawan kehendak Allah SWT. Saat kita membicarakan sebuah Negara, maka keberagaman adalah sebuah keniscayaan yang sudah seharusnya kita hargai dan kita syukuri. Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dengan Keniscayaan Keberagaman.

 

Menjadi Komunitas Imajiner

Benedict Anderson (1983), menulis deskripsi tentang terbentuknya suatu bangsa sebagai sebuah konsepsi komunitas yang terbayangkan atau komunitas imajiner  (“The Imagined Community”).

 

Salah satu alasan mengapa sebuah bangsa itu merupakan suatu komunitas imajiner adalah karena para warga suatu bangsa tidak akan pernah saling mengenal satu dengan yang lain, namun dalam benak setiap anggota komunitas itu hiduplah bayangan tentang persatuan sebuah bangsa".

 

Anderson dalam disertasi doktoralnya dari Cornel University pada tahun 1960-an menguraikan bahwa sebelum Belanda datang, Indonesia masih benar-benar berupa fiksi. Para raja di Jawa dan Bali, sultan di Aceh, serta kepala-kepala suku Toraja di Sulawesi, para tetua adat Dayak di Kalimantan, dan klan Batak di Sumatra, semuanya memiliki klaim atas wilayah territorial mereka, tetapi tidak ada yang benar-benar membayangkan diri mereka sebagai bagian dari komunitas kesatuan organik. Berbagai kerajaan tersebut  pada perkembangan selanjutnya didominasi oleh kepentingan jaringan perdagangan etnis yang menghubungkan pos-pos perdagangan jarak jauh dan membawa misi agama. Salah satu faktor penting munculnya komunitas imajiner tersebut adalah faktor Bahasa sebagai alat pemersatu.

 

Pada waktu itu, saat Indonesia masih sebagai sebuah fiksi, bahasa Melayu digunakan sebagai Bahasa pergaulan antar kerajaan, suku, maupun klan.  Bahasa Melayu yang kemudian berkembang menjadi Bahasa Indonesia juga merupakan lingua franca. Kata Lingua franca berasal dari bahasa Latin yang artinya adalah "bahasa bangsa Franka", dan kemudian digunakan menjadi istilah linguistik yang artinya adalah "bahasa pergaulan" di suatu wilayah di mana terdapat penutur bahasa yang berbeda-beda.

 

Dalam bukunya “Sedjarah Bahasa Indonesia”, Sütan Takdir Alisjahbana (1956), menguraikan bahwa bahasa Melayu memiliki kekuatan untuk merangkul kepentingan bersama yang dapat digunakann di seluruh wilayah Nusantara.  Persebaran bahasa Melayu sangat luas karena juga digunakan oleh para pelaut pengembara dan saudagar yang merantau ke mana-mana selama berabad-abad.

 

Pada era pemeritahan Hindia Belanda, bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kedua yang digunakan untuk komunikasi korespondensi dengan orang lokal. Saat itu muncul ketegangan dalam persaingan antara bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Ketegangan terjadi saat Gubernur Jenderal Roshussen mengusulkan bahasa melayu dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat. Sementara itu Van der Chijs, menyarankan sekolah untuk bisa memfasilitasi pengajaran bahasa Belanda. JH Abendanon sebagai Direktur Departemen Pengajaran saat itu, berhasil memasukkan bahasa Belanda ke dalam mata pelajaran wajib di sekolah rakyat dan sekolah pendidikan guru pada 1900. Namun, akhirnya persaingan bahasa ini nampak dimenangkan oleh bahasa Melayu, karena bagaimanapun bahasa Belanda ternyata hanya dapat dikuasai oleh segelintir orang.

 

Dalam Kongres Pemuda I tahun 1926, bahasa Melayu menjadi wacana untuk dikembangkan sebagai bahasa dan sastra Indonesia. Perkembangan selanjutnya pada Kongres Pemuda II tahun 1928, diikrarkan sebagai bahasa persatuan Indonesia. James Sneddon, penulis The Indonesia Language: lts History and Role in Modern Society terbitan University of New South Wales Press, Australia mencatat pula kalau butir-butir Sumpah Pemuda tersebut merupakan bahasa Melayu Tinggi. Sneddon menganalisis dari penggunakan kata 'kami, puteral, puteri’, serta prefiks atau awalan men-. Sejak saat itulah kemudian Bahasa Indonesia mulai dikembangkan sebagai Bahasa Nasional, yang kemudian dilanjutkan dengan pendirian Komisi Bahasa Indonesia pada 20 Oktober 1942.




Dari Mitos ke Etos

Selain aspek Bahasa, agama dan kepercayaan juga menjadi salah satu aspek penting keberagaman Indonesia. Mitos seperti agama, yang menurut Ernst Cassirer (1946), memberi kita kesatuan merasa. Menurut Mircea Eliade (1963), mitos politik menyediakan argumen praktis yang menyajikan peristiwa masa lalu sebagai preseden, atau paradigma tindakan sekarang. Mitos politik memang tidak selalu negatif. Tetapi kesulitan dengan mitos dalam kehidupan bernegara modern yang menuntut transparansi dan kepercayaan adalah rancunya yang riil dari yang fiksi, yang subyektif dari yang obyektif, yang partikular dari yang universal.

 

Sejarah menunjukkan, proses integrasi berbagai budaya adalah keniscayaan dalam sejarah Nusantara. Setiap budaya punya mitos yang baik dan buruk. Memadukan yang baik, menjadikannya sebagai sintesis baru adalah cara yang bijak, daripada a-priori menolaknya. Filosofi yang baik adalah tidak merasa inferior, tetapi juga tidak superior dengan budaya sendiri.

 

Kesadaran ini penting, agar bisa keluar dari jeratan mitos budaya etnik yang ekslusif guna menuju pembentukan etos budaya unggul sebuah bangsa. Bhinneka Tunggal Ika jangan hanya dijadikan mitos, tetapi hendaknya dijadikan etos bangsa untuk ‘Memperkokoh Kebangsaan’ di tengah tarikan globalisasi budaya.

 

Kita semua tentu sepakat bahwa Peradaban Indonesia Baru adalah pohon yang berdiri tegak, rimbun dan berbuah lebat, pengandaian Indonesia yang maju dan beradab. Indonesia haruslah mampu memakmurkan, memajukan dan memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyat dengan pembangunan peradaban yang bukan lagi mitos, tetapi maujud menjadi etos bangsa yang konstruktif, visioner, antisipatif, progresif, kritis dan berkelanjutan.

Energi dan Kekayaan Indonesia

Tema peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun 2024, "Bangkit untuk Indonesia Emas," bukan sekadar pemanis kata, melainkan sebuah seruan bagi kita semua untuk mengarungi zaman dengan semangat yang tidak terpadamkan. Seruan ini adalah ajakan untuk bersatu padu, meleburkan segala perbedaan, membawa energi Indonesia menjadi lentera pemandu bagi bangsa yang terus berjalan menuju masa depan gemilang. Sejarah kita, yang kaya dengan narasi-narasi heroik para pribadi pelaku sejarah, telah menunjukkan bahwa kekuatan kita terletak pada kemampuan untuk bersatu di bawah semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

 

Sebelum 16 Agustus 1945, Fatmawati, isteri Bung Karno asal Bengkulu, sebenarnya sudah membuat bendera merah putih. Tapi hanya 50 sentimeter, meski untuk sebuah Republik yang baru pun, dirasakan kurang panjang. Sebagai gantinya Fatmawati menjahit dari kain sprei putih, sedangkan kain merahnya dibeli Lukas Kastaryo, pemuda Jawa beragama Katolik, dari penjual soto.

 

Lalu, jadilah bendera pusaka Sang Saka Merah Putih berukuran 2,76 x 2  meter. Yang kemudian dibawakan di atas nampan oleh Ilyas Karim, pemuda Minang, didampingi Suhud dan Singgih, dua pemuda Jawa, dikibarkan dengan tiang bambu sederhana oleh Latif Hendraningrat, prajurit PETA, keturunan Jawa asli Batavia. Kelak, sebelum ditangkap, Bung Karno menitipkan Sang Saka kepada Husein Mutahar, seorang Arab. “Pertahankan dan lindungi dengan nyawamu!”, demikian pesan Bung Karno kepadanya.

 

Perbedaan bukanlah penghalang bagi para pejuang kemerdekaan untuk bersatu. Dalam persatuan itulah, mereka menemukan energi yang maha-dahsyat untuk Indonesia merdeka. Selanjutnya, diharapkan bisa menggerakkan energi bangsa dan melipatgandakan kekayaan negeri ini menuju Indonesia Maju.

 

Jika demikian adanya, maka Indonesia bukanlah hanya sekadar nama-nama atau gambar deretan pulau-pulau di peta dunia. Tetapi sebuah kekuatan dahsyat yang disegani oleh bangsa-bangsa lain dengan penuh hormat. Inilah realitas kebhinnekaan budaya-budaya kita, yang selain sebagai kekayaan, juga mengekspresikan Kemerdekaan Indonesia di bidang budaya.

 

Saat dimana baju persatuan disulam oleh kecintaan mendalam terhadap Tanah Air. Dan tamansari bernama Indonesia, yang berisi bunga-bunga semerbak warna-warni, dirawat oleh rasa memiliki. Sungguh, kemajemukan Indonesia adalah kekuatan anugerah Allah SWT. yang tak terkira. Saya yakin, dengan kerja bersama, kita akan mampu menghadapi tantangan masa depan, mencapai prestasi bangsa: Indonesia maju yang gemilang.




Catatan Akhir

 

Alangkah eloknya jika keberagaman terjalin dalam serat-serat yang saling menguatkan. Dalam konteks relasi antar agama dan antar etnis kita juga bisa mengeratkan misalnya hubungan Islam-Kristen dan Melayu-Cina. Dengan demikian suatu resiprokalitas keberagaman yang kaya akan tercipta. Sehingga kita bukan hanya hidup lebih rukun dengan kepekaan akan hak-kewajiban individual-sosial yang lebih tinggi. Tetapi dalam konteks keberagaman, kita juga akan sanggup melaksanakan rencana-rencana pembangunan dengan sesedikit mungkin distorsi, saling curiga dan kesalahmengertian.

 

Indonesia, menurut Ben Anderson adalah suatu realita terbentuknya bangsa besar, dari keniscayaan keberagaman yang tadinya terpecah, namun kemudian berusaha mencapai suatu persatuan bangsa imajiner, dengan motto “Bhinneka Tunggal Ika” dan memiliki makna “Kesatuan dalam Keberagaman”.

 

Melihat realita ini, sepatutnya kita mensyukuri karunia Tuhan ini dengan merawat persatuan dalam keberagaman sebagai suatu nikmat dan kekayaan kita. Merawat disini sekaligus mengandung makna proaktif melakukan upaya serta menjaga agar lestari (merawat dalam arti preserving), tetap sehat sehingga rasa persatuan kita tidak sakit (merawat dalam arti nursing), serta agar persatuan kita terus tumbuh dan berkembang (merawat dalam arti nurturing).




Jakarta, 29 Mei 2024

 

GUBERNUR

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,






HAMENGKU BUWONO X