BIRO UMUM HUMAS & PROTOKOL

SEKRETARIAT DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DIALOG KEBANGSAAN GITA PUJA BANGSA 3: REAKTUALISASI PANCASILA SEBAGAI PERAJUT KEBHINEKAAN BANGSA

Assalamualaikum Wr., Wb.,

Salam Damai Sejahtera bagi Kita Semua.


Yang saya hormati Ketua Forum Beda Tapi Mesra, para tamu undangan dan hadirin sekalian



Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa, yang masih memperkenankan kita semua untuk hadir di sini dalam keadaan sehat, tanpa kekurangan suatu apapun.

Adalah sebuah kehormatan, karena saya diminta untuk bertindak sebagai salah satu narasumber dalam kegiatan ini, dengan membawakan tema ?Meneguhkan Nilai-nilai Budaya Bangsa dari Sebuah Budaya Global yang Destruktif?.


Saudara-saudara,

Globalisasi telah mengubah banyak hal secara mendasar. Globalisasi itu sendiri sesungguhnya bukanlah hal baru. Sejarah menunjukkan, di masa lampau, dalam modus dan skala yang berbeda, globalisasi telah berulang kali terjadi di Nusantara. Itu adalah konsekuensi logis dari kenyataan bahwa Indonesia merupakan bagian dari kawasan dan sistem komunitas dunia. Perlu dipahami pula, bahwa saling-silang budaya antar berbagai tradisi di Nusantara dengan anasir- anasir asing justru telah dan akan membawa ke arah suatu perubahan yang dinamis. Hal itu dimungkinkan karena budaya lokal yang ada memiliki kemampuan untuk menyerap dan menyaring apa yang pantas dan tidak, sebelum akhirnya dijadikan kerangka acuan.

Meski globalisasi bukanlah hal baru, yang menjadi masalah besar kita saat ini adalah fakta bahwa berkat perkembangan IPTEK, globalisasi telah mentransformasi dunia menjadi dunia tanpa batas. Dalam dunia yang ?baru? ini, di satu pihak ada kelompok masyarakat yang hanyut. Mereka lebih suka ikut arus karena bebas dan serba boleh memilih apa pun yang disukai, seakan tak punya spiritualitas. Akibatnya, identitas dirinya menjadi tidak jelas, setidaknya ambigu atau bahkan ambivalen. Di lain pihak, sekelompok orang mengambil sikap radikal, menganggap perubahan sebagai kemunduran spiritualitas. Mereka lebih suka menutup diri terhadap globalisasi dan bertahan pada ?keyakinan? dan cara hidupnya secara ketat. Maka, muncullah kelompok radikal di berbagai belahan dunia. Di Indonesia dimulai dari sikap-sikap intoleransi, terutama terhadap keyakinan dan agama liyan.

Adapun dalam konteks Pancasila, kita tidak membutuhkan lagi bukti atau diskusi berbelit untuk menegaskan bahwa nilai-nilai Pancasila kian luntur dengan kecepatan tinggi. Aneka tragedi kerapuhan kebangsaan kita sangat mudah ditemui. Dalam kaitannya dengan hubungan sosial, contohnya adalah semakin maraknya media sosial yang dipenuhi ujaran kebencian, fitnah, dan berita hoax, yang merenggangkan hubungan antar anak bangsa yang berdampak luas. Atau betapa tindak kejahatan telah menjadi kian makin sadis, yang lahir dari provokasi yang minim atau bahkan tanpa provokasi sama sekali. Dalam kaitannya dengan Pemerintahan dan Politik, di tengah meningkatnya ketidakpercayaan antar sesama warga, lembaga-lembaga negara yang seharusnya mengamankan, malah menjadi faktor ketidakpastian baru. Aparat Negara yang seharusnya melayani malah sibuk menyenangkan diri sendiri. Para politisi ?nyambi? sebagai kritikus yang mengedepankan emosi dan bukan logika. Uang menjadi kategori baru dalam politik, kemiskinan tidak lagi dituturkan sebagai masalah solidaritas yang menunjukkan nilai-nilai Keadilan dan Kegotong-royongan yang perlu diperjuangkan.


Hadirin sekalian,

Indonesia tidak akan dan tidak boleh menolak globalisasi. Meski demikian, Indonesia harus memastikan, bahwa dalam dunia tanpa batas ini, Indonesia tetap menjadi Indonesia, bukan lebur menjadi hal lain yang tidak sesuai dengan cita-cita yang mendasari kelahirannya. Lain kata, ini adalah masa dimana seharusnya pancasila dihadirkan, lebih dari yang sudah-sudah: sebagai jati diri, sebagai filter untuk memilah dan memilih, sehingga globalisasi tidak menjadikan kita sebagai bangsa dan Negara yang hancur secara mental.

Mengapa kita harus menemukan kembali identitas kita sebagai bangsa?

Pertanyaan serupa juga diketengahkan oleh Bung Karno pada Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1959: Rediscovery of our Revolution. Pidato untuk menemukan kembali jalan Revolusi Indonesia, takala Djiwa Revolusi hamper padam, menjadi dingin tak ada apinya!? Ada pun solusinya waktu itu, perlu melakukan re-thinking dan re-shaping melalui Retooling of the Future. Atau jikalau meminjam istilah Presiden Joko Widodo: Revolusi Mental! Menemukan kembali dengan memikirkan dan mempertajam makna Pancasila dalam kehidupan bernegara sebagai Dasar Negara, dalam kehidupan berbangsa sebagai alat Pemersatu Bangsa, dan dalam kehidupan bermasyarakat sebagai Pandangan Hidup warga bangsa. Pancasila harus dijadikan living way of life.

Demikian pun sekarang! Pancasila harus tetap menjadi ?Rumah Kita?, rumah bersama dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Rumah tempat berdialog, berdiskusi dan berbagi yang menyatukan kehidupan keIndonesiaan kita sekaligus menyehatkan bagi bangsa.

Nilai-Nilai Dasar Pancasila bersumber dari Nilai-Nilai Budaya yang mengalir mengarungi bukit, lereng, jurang dan lembah menjadi aliran Semangat Kebangsaan yang dahsyat, sehingga mampu menembus dan menggerus bebatuan yang menghalangi cita-cita perwujudan Pancasila. Semangat Pancasila adalah penggerak nilai-nilaiKebangsaan yang terdapat di dalam jiwa dan menjadi ruh bangsa Indonesia.

Nilai Dasar Pancasila itu statik, sedangkan yang bergerak dinamik sebagai pendorong Semangat Pancasila adalah Nilai Instrumental dan Nilai Praksis yang adaptif terhadap konteks zaman. Semangat Pancasila jenis inilah yang harus terus-menerus digugah, dibangkitkan dan didorong, agar merasuk ke dalam hati setiap anak bangsa.

Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dapat dibedakan atas dua hal: Aktualisasi Obyektif dan Subyektif. Aktualisasi Obyektif ditujukan pada kelembagaan negara: Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Materi aktualisasinya dikenakan pada bidang-bidang Politik, Ekonomi dan Hukum. Sedangkan penjabarannya terutama dalam Haluan Negara, Undang-Undang, Pemerintahan, Pertahanan-Keamanan, Pendidikan, Sosial-Budaya, dan bidang-bidang lain. Aktualisasi Subyektif adalah internalisasi nilai-nilai, agar menjadi perilaku setiap individu dalam aspek moral, kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Saudara-saudara,

Sebagai penutup, perlu menjadi catatan mental kita bersama, bahwa Bung Karno kerap menyitir ucapan Arnold Toynbee: ?A great civilization never goes down unless it destroy itself from within?, serta ucapan Abraham Lincoln, ?A nation divided against itself, cannot stand?.

Tentu kita dapat sepakat, bahwa Peringatan Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78 ini, merupakan momentum tepat bagi kita semua, untuk memastikan bahwa dua pernyataan yang kerap disitir oleh Bung Karno tadi; dua pernyataan yang merupakan ekspresi kekhawatiran sang Bapak Bangsa atas masa depan Bangsa dan Negara Indonesia, tidak menjadi nyata di tangan kita.

Sekian dan terima kasih.



Wassalamu?alaikumWr. Wb.

?

Surabaya, 19 Agustus 2023