BIRO UMUM HUMAS & PROTOKOL

SEKRETARIAT DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SAMBUTAN SDG’s ANNUAL CONFERENCE 2023 Dengan Tema: Air, Energi dan Pertanian Menuju Ketahanan Panga

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Salam Damai Sejahtera Bagi Kita Semua,



Yang terhormat:

  • Menteri PPN/ Kepala Bappenas RI, Bapak Suharso Monoarfa;


Dan yang saya hormati:

  • UN Resident Coordinator, Bapak Valerie Julliand;

  • Para panelis,

  • Tamu undangan, peserta konferensi, dan hadirin sekalian.

Konferensi ini, dilaksanakan dalam rangka membangun komitmen bersama, untuk memastikan keseimbangan ekosistem air, energi dan jaminan pasokan pangan nasional menuju ketahanan pangan.  Untuk itu, perkenankanlah saya menyampaikan nilai kearifan lokal dan praktik baik Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam menjaga ketahanan pangan dan melestarikan air, seiring upaya memberdayakannya.


Mataram—sebagai cikal bakal Kraton Yogyakarta pada sekitar abad 17, telah mengenal konsep food estate dengan pola pertanian CLS (Crop Livestock System), yang mengintegrasikan cocok tanam dengan ternak. Memerintah pada tahun 1613 – 1645, Sultan Agung telah menyadari, betapa strategisnya peran komoditi beras, bagi kelangsungan peradaban yang dipimpinnya.


Dalam upayanya, Sultan Agung bahkan telah melakukan rekayasa sosial, dalam melaksanakan intensifikasi tanaman padi. Kerjasama antar petani dan antar kelompok tani amat kuat, baik dalam tertib pola tanam, penggunaan air irigasi, pengendalian hama dan penyakit, penggunaan peralatan maupun dalam acara panen.


Saat ini, konsep Lumbung Mataraman telah dikembangkan dengan konsep yang lebih modern, seiring upaya memperkuat partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, dimana salah satunya adalah untuk melanjutkan tradisi “nandur opo sing dipangan lan mangan opo sing ditandur”, atau menanam apa yang dimakan, dan memakan apa yang ditanam.


Dari sisi regulasi, Pemda DIY telah menerbitkan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2021, tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2011,  tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.


Perda ini, dalam salah satu pasalnya, telah mengatur pelarangan alih fungsi lahan, terutama lahan produktif. Dalam hal ini, masing-masing kabupaten, wajib memiliki lahan pendukung ketahanan pangan, dengan luasan yang telah ditentukan. Adapun luas Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah Tujuh Puluh Dua Ribu Empat Ratus Sembilan Koma Tujuh Puluh Sembilan Hektar (72.409,79 hektar), dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan seluas Tiga Puluh Dua Ribu Empat Ratus Sembilan Puluh Lima koma Sembilan Puluh Tujuh Hektar (32.495,97) hektar, di empat kabupaten di DIY.


Apabila pemerintah kabupaten, akan menggunakan lahan yang pernah diajukan sebagai lahan pertanian untuk keperluan lain, maka mereka wajib mempersiapkan lahan produktif alternatif, seluas dengan yang mereka mohonkan. Syaratnya, lahan yang diajukan sebagai pengganti, bukan termasuk lahan pertanian dan lahan cadangan pertanian.



Bapak Menteri dan Hadirin sekalian,

Pemda DIY, telah melakukan langkah-langkah proaktif dan terarah, dalam upaya mendayagunakan sumberdaya air untuk memenuhi kebutuhan pokok melalui Integrated Water Resources Management. Saat ini, kondisi penggunaan air naik secara eksponensial, sedang pasokan air bersih melambat, akibat kerusakan alam dan polusi. Untuk itu, Pemerintah wajib mengatur penggunaan air secara sustainable, yang memenuhi rasa keadilan masyarakat.


Dalam konteks pelestarian air, Pemda DIY telah melakukan melalui langkah-langkah berikut: (1) Munggah, Mundur, Madhêp Kali; (2) Sanitasi Total Berbasis Masyarakat; (3) Pengelolaan Limbah Domestik Terpadu Skala Pemukiman; (4) Melestarikan Tradisi Mêrti Kali.

Selain itu, Kami juga membuat kelompok-kelompok masyarakat di setiap Kelurahan yang memiliki banyak mata air atau sungai, dengan labelling kelompok pecinta air. Kami berupaya memfasilitasi mereka, dengan memberikan sepeda motor roda tiga, untuk membawa, mendistribusikan air dan memperbaiki jaringan air yang bocor. Di DIY, terdapat 900-an kelompok pencinta air baik itu Bumdes, maupun kelompok masyarakat.


Kesemua upaya pelestarian air itu, bersumber dari filosofi “Hamêmayu-Hayuning Bawânâ”, yang diderivasikan pada “Rahayuning Bawânâ Kapurbâ Waskithaning Manungsâ”. Bahwa keselamatan dunia, hanya didasarkan pada kearifan manusianya.

Filosofi tersebut, apabila diintegrasikan dengan vegetasi, akan selaras dengan “Laku Budaya Taruparwâ”, yang diwujudkan dengan kegiatan tanam pohon sebagai simbol kerukunan. Karena selain air, pohon adalah juga sumber kehidupan dan kedamaian, atau “Têpung Banyu Sêdulur, Nandur Wiji Karahayon”. Jika dipadatkan, berakar pada ajaran Jawa “nandur wiji kèli” (menebar bibit dengan menghanyutkannya).


Secara filosofis “nandur wiji kèli” adalah anjuran, agar sadar untuk menyebar bibit di sungai. Dengan tujuan, agar jika biji-biji bisa tumbuh di suatu tempat memberi manfaat bagi orang lain, tanpa melihat siapa pun yang memetik buahnya.


Itulah makna kemanusiaan dalam memanfaatkan sumber daya air dan tanaman pangan, demi sebesar-besarnya kesejahteraan bersama.



Bapak Menteri dan Hadirin sekalian,

Dengan ilustrasi seperti itulah, saya mengucapkan “Selamat Datang di Daerah Istimewa Yogyakarta”, seraya mengenalkan kearifan lokal dan warisan budayanya.  Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan melimpahkan berkah serta rahmat-Nya, agar hasil konferensi ini bermanfaat bagi kelangsungan masa depan air, energi dan kelanjutan pangan.


Semoga-lah pula, para tamu undangan dan seluruh peserta, masih sempat menghirup suasana Yogyakarta dengan serba kesahajaannya, di tengah pesona alam, khazanah wisata, dan keluhuran budayanya. Akhir kata, selamat mengikuti seluruh rangkaian acara hingga paripurna!

Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

 

Royal Ambarukmo, 06 November 2023