BIRO UMUM HUMAS & PROTOKOL

SEKRETARIAT DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Keynote Speech KONGRES BAHASA JAWA (KBJ) VII

Assalamualaikum Wr., Wb.,

Salam damai sejahtera bagi kita semua.


Yang saya hormati:

  • Penjabat Gubernur Jawa Tengah, Gubernur Jawa Timur,

  • Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah beserta jajarannya selaku tuan rumah dan penyelenggara,

  • Para Tamu Undangan, Para Peserta Kongres, dan Saudara sekalian.


Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa, karena kita masih diperkenankan untuk hadir di sini dalam keadaan sehat wal’afiat, tanpa kekurangan suatu apapun.


Hadirin sekalian,

Sesungguhnya bahasa adalah wujud kebudayaan manusia yang paling awal. Unesco bahkan memberikan penghargaan tinggi terhadap setiap bahasa. Salah satu dasar argumentasinya: karena dengan bahasa daerah, ekspresi seseorang memungkinkan mencapai hingga batas-batas yang maksimal. Selain itu, Bahasa juga bisa menjadi sarana untuk katarsis, melepaskan diri dari lingkungan psikologis bukan bahasa ibu.

Bahasa Jawa, merupakan kekayaan yang tak ternilai dari kebudayaan Jawa, yang selama 8 abad (antara Abad 12 sampai awal Abad 20), sempat mengalami kejayaan. Dalam perjalanan sejarah kebahasaannya, bahasa Jawa juga melewati berbagai perubahan dalam ilmu linguistiknya, mulai dari periode bahasa Jawa Asli, Jawa Kawi atau Sansekerta, Jawa Kuna, Jawa Tengahan, sampai pada bahasa Jawa yang digunakan saat ini. Meski demikian, sejak awal Abad 21, bahasa Jawa mengalami masa-masa kemunduran, baik dalam hal populasi penggunaannya oleh masyarakat Jawa sendiri, maupun dalam hal wilayah penyebarannya yang terus menyusut.

Terdapat beberapa tanda, bahwa suatu bahasa mengalami pergeseran dan mungkin menuju kepunahan, jika pergeseran itu tidak segera dibendung. Antara lain, pertama, bahasa itu kehilangan basis wilayah, dan dipakai oleh jumlah penutur yang semakin kecil. Kedua, bahasa daerah semakin terdesak oleh bahasa nasional dan bahasa asing. Ketiga, bahasa daerah lebih banyak digunakan hanya di pedesaan. Keempat, mutu penggunaan bahasa daerah oleh para penuturnya semakin menurun, sebagaimana terjadi pada bahasa Jawa, ketika banyak orang Jawa sudah tidak lagi bisa menggunakan bahasa krama tengahan sekalipun di dalam kalangan komunitas Jawa sendiri.

Tantangan besar bahasa daerah di Indonesia adalah, bagaimana mempertahankan eksistensi bahasa daerah itu agar tidak punah. Akibat adanya pengaruh perubahan peta geolinguistik, kedudukan bahasa daerah menjadi lemah, dan fungsinya pun termarginalisasikan. Dalam “persaingan” antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia serta Bahasa asing, misalnya, banyak petunjuk mengisyaratkan, bahasa Jawa akan makin kalah bersaing. Dari sudut pandang kepentingan nasional, di satu sisi kekalahan ini dapat dilihat sebagai sesuatu yang mempererat tali persatuan bangsa. Namun di sisi lain, tentu itu merupakan kondisi yang sangat disayangkan, sebab yang menjadi harapan kita adalah bagaimana agar Bahasa Jawa dapat berdiri sama tinggi dengan Bahasa Indonesia. Sehingga, perlu ada usaha untuk menanggulangi, agar bahasa Jawa atau pun bahasa daerah lainnya tidak punah atau berubah status menjadi bahasa seremonial belaka, misalnya untuk upacara pernikahan.

Upaya yang mesti dilakukan dalam pembinaan dan pengembangan bahasa daerah, adalah usaha-usaha konkret pelestarian bahasa yang benar-benar menyentuh perilaku sehari-hari masyarakat. Jangan lagi ada kasus, dimana pengajaran bahasa daerah di sekolah lebih cenderung bersifat simbolis, tanpa mengarahkan pengajaran bahasa Jawa, misalnya, ke penanaman sikap dan disiplin untuk tetap menggunakannya. Perlu diupuayakan pula, agar ada kesinambungan penggunaan antargenerasi, dengan mewariskan kepada generasi berikut.


Hadirin sekalian,

Pada Kongres Bahasa Jawa ke-3, saya pernah memberi contoh kasus upaya mempertahankan Bahasa daerah, yang saya rasa masih relevan untuk kita jadikan catatan mental. Pertama, upaya mempertahankan bahasa Irlandia yang merupakan contoh kegagalan, dan kedua, bahasa Ibrani di Israel sebagai contoh keberhasilan.

Saingan utama bahasa Irlandia, adalah bahasa Inggris. Upaya mempertahankan keberadaan bahasa Irlandia dilakukan dengan mengajarkannya di sekolah-sekolah. Namun ternyata upaya itu gagal, karena kalah dengan bahasa Inggris, sehingga bangsa itu memutuskan meninggalkan bahasa etniknya dan beralih ke bahasa Inggris. Sedangkan dalam kasus Bahasa Ibrani, pada akhir abad ke-19 Bahasa Ibrani keadaannya jauh lebih buruk daripada bahasa Jawa saat ini. Namun karena upaya sekuat tenaga dikerahkan untuk menghidupkan kembali, maka bahasa Ibrani dapat berkembang lagi. Ada enam upaya yang telah ditempuh:

  1. Pembentukan rumah tangga berbahasa Ibrani di rumahnya sendiri,

  2. Pembentuk kelompok-kelompok tutur Ibrani,

  3. Pembinaan di sekolah-sekolah,

  4. Penerbitan surat kabar berbahasa Ibrani modern,

  5. Penyusunan kamus bahasa Ibrani kuno dan modern, serta

  6. Pembentukan Dewan Bahasa.


Dari kedua contoh tersebut dapat dipetik hikmah, upaya melestarikan suatu bahasa akan mustahil, jika tanpa menggunakan bahasa tersebut dalam komunikasi sehari-hari. Di Lampung, Yogyakarta, dan Bali, nama-nama jalan ditulis dalam aksara daerah, dengan maksud untuk melestarikan bahasa daerah. Akan tetapi naif, bila kita percaya bahwa hanya dengan usaha-usaha simbolis seperti itu, dapat menjurus pada keberhasilan pelestarian bahasa daerah. Sebab sama halnya dengan program-program pembangunan lainnya, dalam melestarikan Bahasa Jawa, tugas terberat sesungguhnya adalah mengajak masyarakat untuk ikut peduli dan secara konsisten ikut terlibat.

Semoga, Kongres Bahasa Jawa ke-7 ini, secara nyata dapat menjadi titik tolak, dalam menjadikan “Gayeng Gumregut Ngrumat Basa Jawa” sebagai sebuah misi bersama sekaligus awal kemitraan antara kita (Pemerintah) dengan masyarakat.

Sekian dan terima kasih.


Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

 

Karanganyar, 28 November 2023