BIRO UMUM HUMAS & PROTOKOL

SEKRETARIAT DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

S a m b u t a n ANUGERAH MERITOKRASI KASN 2023 “MERITOKRASI KUAT, INDONESIA MAJU"

Assalamualaikum wr. wb.

Salam sejahtera untuk kita semua,

 

Yang terhormat, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Bapak Abdullah Azwar Anas,

Yang saya hormati:

  • Kepala Kantor Staf Presiden;

  • Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;

  • Kepala Badan Kepegawaian Negara;

  • Kepala Lembaga Administrasi Negara;

  • Kepala Badan Siber dan Sandi Negara;

  • Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Prof. Agus Pramusinto, beserta Kelompok Kerja KASN,

  • Para Tamu Undangan dan hadirin sekalian.

 

Ditinjau dari perspektif sejarah, dapatlah diketahui, bahwa akar pemikiran meritokrasi, lahir dari pemikiran Aristoteles dan Plato. Menurut kedua filsuf itu, negara memang sudah selayaknya dipimpin oleh sosok-sosok terbaik, berintegritas, dan berprestasi.

Beranjak ke belahan timur, sejarah mencatatkan, bahwa implementasi sistem merit sudah dilaksanakan pada era Dinasti Qin dan Han di China. Dinasti ini, mengejawantah sistem merit, melalui konsep rekrutmen pegawai pemerintahan. Setiap calon pegawai dan pejabat, wajib mengikuti rangkaian seleksi yang ketat. Bagi kedua dinasti ini, sistem merit dianggap mampu mengakomodir berbagai permasalahan yang timbul kala itu. Dengan wilayahnya yang begitu luas, besar, dan menyebar, pada akhirnya menyebabkan kompleksitas penataan dan pengelolaan jabatan.

 

Pasca Dinasti Qin dan Han, dinasti-dinasti di China, menerapkan sistem sembilan tingkatan jabatan, sebagai “upgrading” atas sistem yang sudah dilahirkan generasi pendahulunya.

 

Di era yang lebih kontemporer, awal mula system-merit ini lahir dari Undang-undang Dinas Sipil tahun 1882 di Amerika Serikat untuk melawan patronage-system, yang ketika tahun 1800-an itu marak, dan menjadi penyebab menurunnya kualitas pekerjaan dan pelayanan publik.

 

Dengan memahami perspektif sejarah itu, dapatlah kita simpulkan, bahwa implementasi sistem meritokrasi, tidak hanya sebuah upaya mengubah sistem administrasi, melainkan menjadi langkah strategis dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, serta selaras dengan upaya Reformasi Birokrasi.



Bapak Menteri dan para Hadirin yang saya hormati,

 

DI DIY, sejatinya Reformasi Birokrasi telah digulirkan lewat Maklumat No. 10 Tahun 1946 tentang Perubahan Pangrèh Prâdjâ menjadi Pamong Prâdjâ. Esensi Maklumat ini bukan hanya mengubah istilah, tetapi juga tata pemerintahannya. Serupa dengan pergeseran Abdi-Negara ke Abdi-Masyarakat. Di sanalah sumber Filosofi ASN itu berasal. Dari Pejabat yang “dilayani” menjadi Abdi Masyarakat yang “melayani” rakyat.

 

Dalam Diklat-Diklat, ASN DIY diharapkan menjadi “aktor perubahan”, bukan hanya “agen” yang tergantung pada “distributor”. Konsekuensinya, agar terbentuk ASN yang bersikap “mandiri”, baik dalam pikiran maupun tindakan.

 

Demikian juga dengan penyesuaian nama PNS menjadi ASN, tidak sekadar perubahan istilah, tetapi juga memuat perubahan struktural dan fungsional. Secara struktural, Pembina ASN adalah Sekda, padahal ketika masih berlabel PNS, pembinaan berada di tangan Kepala Daerah. Fungsi ASN pun diperluas menjadi (1) pelaksana kebijakan publik, (2) pelayan publik, dan (3) perekat bangsa.

 

Konsekuensi dari pembaharuan fungsinya itu, adalah terwujudnya perilaku bermartabat dari ASN, atas dasar tegaknya nilai-nilai integritas yang menjunjung tinggi kejujuran, nurani rasa malu, nurani rasa bersalah dan berdosa jika melakukan penyimpangan.

 

Dengan demikian, ASN bukan sekadar pekerja kantoran, tetapi insan peradaban. Integritas dirinya menunjukkan sikap anti kebodohan dan kemiskinan, yang membentuk watak anti korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Semua perubahan itu membawa serta perubahan filosofi yang fundamental: Dari “dilayani”, lalu “melayani”, dan berujung menjadi “aktor perubahan” yang “merdeka”. Yaitu merdeka dalam berpikir dan bertindak atas dasar konsep “thinking and acting out of the box within the system”.

 

Pemerdekaan itu, atau tepatnya “inovasi” bisa mengacu PP No. 38 Tahun 2017 tentang Inovasi Daerah. Artinya, inovasi harus dalam rambu-rambu dan frame regulasi yang ada. Itulah tantangannya, karena regulasi itu sifatnya relatif permanen, sedangkan inovasi itu bisa berjalan bebas ke mana-mana. Maka, perlu adaptasi elaboratif diantara keduanya, agar tetap berdaya-guna.

 

Dengan harapan dan ilustrasi seperti itulah, saya mengucapkan Selamat Datang di Yogyakarta kepada Bapak Menteri dan hadirin sekalian, seraya  menyampaikan tulus apresiasi kepada para penerima penghargaan Anugerah Meritokrasi Tahun 2023. Bagi seluruh peserta, semoga acara ini menjadi cambuk untuk tetap meningkatkan kinerja dan prestasi.

 

Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan melimpahkan berkah dan rahmat-Nya, agar usaha-usaha penguatan sistem meritokrasi senantiasa ditunjukkan di jalan lurus-Nya.

 

Sekian, terima kasih.

Wassalamualaikum wr. wb.



Yogyakarta, 7 Desember 2023