BIRO UMUM HUMAS & PROTOKOL

SEKRETARIAT DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Orasi Budaya MEMBANGUN KAMPUS BERKEBUDAYAAN

Kehidupan yang beradab tidak seperti kehidupan kera yang naluriah, dan tidak memerlukan sekolah untuk melompat dari dahan ke dahan. Juga tidak seperti pohon yang tumbuh dengan sendirinya, kemudian mati pada waktunya. Kehidupan yang beradab, adalah kehidupan yang hanya terdapat dalam diri manusia, tetapi itu pun tidak terjadi dengan sendirinya.

 

Peradaban harus didesain dengan kesadaran, rencana, kebersamaan, dan commitment, yang didasarkan atas nilai-nilai kehidupan yang bernas. Melalui pendidikanlah, kita dapat berharap terwujudnya aspirasi kemerdekaan bangsa ini, yang juga menjadi cita-cita Universitas  Gunungkidul ini, yaitu: mencerdaskan kehidupan melalui kebudayaan. Kehidupan cerdas inilah, yang patut menjadi dasar sebuah peradaban yang kokoh dan sehat. Oleh sebab itu, pendidikan harus sadar dan tampil sebagai kekuatan pembangun peradaban bangsa.

 

Peran besar pendidikan itu, hanya dapat dilaksanakan apabila dunia pendidikan sendiri secara sadar, berencana, kompeten, dan jujur, dirombak secara fundamental diganti dengan paradigma baru, sejalan tugas utama pendidikan sebagai media transformasi kebudayaan dan peradaban.

 

Ketika bangsa-bangsa di dunia berkemas untuk memasuki masa depan, kita justru masih saja terjerat, dalam pertikaian yang merupakan warisan sejarah masa lalu. Ketika bangsa-bangsa lain, mendidik generasi muda untuk menghadapi persaingan global, pendidikan kita terus mengajarkan ilmu-ilmu yang relevansinya diragukan terhadap perkembangan sains, teknologi dan industri. Pendidikan membutuhkan filsafat, karena pendidikan menyangkut hal-hal yang luas, dalam dan kompleks yang tidak mungkin terjangkau oleh sains pendidikan.



Dari “What-is” ke “What-for

Menurut John Dewey, sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyaan “what-is” dalam dunia makna harus dikembangkan menjadi “what-for” dalam dunia nyata. Menurutnya, kita harus sanggup bertindak, tidak selalu terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan berusaha memecahkan masalah dengan tindakan konkrit. Oleh karenanya, teori hanyalah alat untuk bertindak, agar tidak terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat, adalah teori yang berguna, siap-guna, dan kenyataannya berlaku, yang memungkinkan kita bertindak. Mengenai hal itu, bukankah Sêrat Wêdhâtâmâ telah menerakan dalam ungkapan: “ngèlmu iku kalakoné kanthi laku”?

 

Upaya mencerdaskan kehidupan Berbudaya, Berbangsa, dan Bernegara itu lebih dari sekadar pendidikan nilai-nilai kebaikan bersama (public virtues), tetapi adalah pendidikan karakter yang bersifat multidimensi yang mengandung beberapa faktor yang dibutuhkan setiap warga negara: pengetahuan (civic knowledge), kebijaksanaan (civic dispositions), kemampuan (civic skills), kompetensi (civic competences), kepercayaan diri (civic confidence), dan komitmen (civic commitments) warga negara.



Tantangan (1): Apakah Sivitas Akademika UGK siap menunaikan cita-cita kampus berkebudayaan itu?

 

Visi

Secara singkat Visi “MENJADI UNIVERSITAS BERBASIS BUDAYA YANG UNGGUL DALAM ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI DI WILAYAH KARST SERTA BERWAWASAN GLOBAL itu dapat dipadatkan dalam kalimat: “Adapted Globally, Rooted Locally”, mengadaptasi budaya global, berakar budaya lokal. Sebagai dampak globalisasi, tak terelakkan kita harus menerima penetrasi gaya hidup budaya global, terutama yang dibawa oleh produk-produk industri-perdagangan dan seni, yang disertai aturan-aturan mengikat yang ditetapkan oleh Badan-Badan Dunia. Kita terpaksa harus menerimanya, karena aturan-aturannya sudah diratifikasi oleh Pemerintah RI, meski belum selalu sesuai dengan budaya lokal, bahkan banyak yang menggerus kemandirian bangsa. Bahkan, budaya global berdampak mengubah way of life bangsa ini.

 

Globalisasi Mengubah “Way of Life

Menurut Jeremy Rifkin, Presiden Foundation on Economic Trends Washington, kehidupan manusia kini telah terkomodifikasi menjadi sebatas komoditas atau barang dagangan, di mana antara dimensi komunikasi, komuni, dan komersial tak bisa dibedakan. Telah terjadi metamorfosis dari produksi industrial ke kapitalisme budaya, yang menyebabkan pergeseran mendasar dari ruang budaya (cultural sphere) ke ruang komersial (commercial sphere), di mana semua aspek kehidupan seakan pasar komersial.

 

Kini dominasi Barat itu kian terasa dan begitu mencengkeram, tidak hanya dalam bidang ekonomi, melainkan juga budaya. Budaya, nilai, dan gaya hidup konsumtif kini merembes lewat perdagangan dan ekonomi masuk ke dapur-dapur rumah kita, terutama sebagai dampak globalisasi media.

 

Ki Hadjar Dewantara memberi pengertian kebudayaan, sebagai buah-budi manusia yang beradab dan buah perjuangan manusia terhadap dua kekuatan yang saling berhadapan, interaksi alam dan zaman, kodrat dan masyarakat, kekuatan alam-kodrati dan tuntutan-zaman. Ini menunjukkan, bahwa kebudayaan bersifat dinamik, dan bukan sesuatu yang terpaku di tempat, kaku dan statis.

 

Itulah sebabnya, mengapa kebudayaan penuh cerita tentang perubahan-perubahan, yang memberi wujud baru terhadap pola-pola kebudayaan yang sudah ada. Jadi konsep kebudayaan diperluas dan didinamisir. Irama hidup kita yang semakin cepat oleh sebab globalisasi, tentu saja mempengaruhi perubahan-perubahan tersebut. Sesuai prinsip Arnold Toynbee, continuity and change, dalam proses perubahan itu pun, tetap selalu ada unsur-unsur yang menunjukkan kesinambungan. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, kebudayaan bersifat progresif dan ekspresif, di mana sifat progresif perlu dikembangkan guna mengisi Kebudayaan Nasional Indonesia yang modern dan maju, agar mampu mengejar kemajuan bangsa-bangsa lain di bidang sains, teknologi dan ekonomi.

 

Orientasi progresif itu diperlukan, untuk membalik kelemahan sistem pengetahuan dan ekonomi dalam budaya lokal yang lebih bersifat ekspresif. Kebudayaan mengandung dua daya sekaligus, daya preservatif yang mempertahankan agar budaya itu lestari, bahkan daya regresif yang menariknya mundur ke belakang, dan daya progresif yang mendorongnya maju.

 

Budaya global yang didominasi budaya Barat (Amerika) amat berpengaruh terhadap budaya lokal, sehingga memberikan kesan menjadi ‘model’ untuk ditiru. Kecenderungan meniru itu selanjutnya terekspresikan dalam cita rasa (sense of taste) dan gaya hidup (life-style), sehingga terbentuk menjadi pola hidup (way of life) baru yang dianggap superior. Hal ini bisa menimbulkan dampak gegar budaya (cultural schocks) dan gejala keterasingan dari kebudayaan sendiri (cultural alienation) sebagai pertanda terjadinya proses dekonstruksi budaya.

 

Dalam ‘dialog budaya’ dengan budaya global itu, memang membuahkan dua hal yang justru berbalikan. Pertama, ke arah modernisasi budaya yang bersifat positif dengan mengadaptasi nilai-nilai progresif budaya Barat yang modern, maju dan unggul. Orientasi progresif itu dengan mempertajam rasio diperlukan untuk mengejar kemajuan Barat di bidang iptek dan ekonomi. Kedua, ke arah westernisasi budaya sebagai limbah negatifnya, karena mendegradasikan nilai-nilai luhur budaya lokal yang permisif terhadap gaya hidup hedonis budaya Barat.

 

Kita perlu mencermati bagaimana para leluhur kita dengan penuh bijak dan elegan melakukan “perimbangan” (counter balance) terhadap desakan budaya dari luar yang begitu gencarnya, namun yang diperoleh justru pengaruh positifnya. Jadi melimpahnya pengaruh budaya luar oleh para leluhur dapat dijadikan batu pijakan untuk menciptakan sintesis budaya dengan memadukan unsur-unsur lokal. Bahwa semua ini terjadi karena para leluhur memiliki keunggulan lokal (local genius).

 

Contohnya, penggunaan HP yang berlebihan mengakibatkan kerja kita tidak bisa fokus. Kebiasaan selfie nyaris dalam setiap momen juga mengubah gaya hidup menjadi narsis dan sok pamer. Tetapi, bagi mereka yang bisa memanfaatkan fungsi dan fitur-fitur HP secara maksimal, bahkan bisa memperoleh data yang berguna untuk memperluas wawasan dan meningkatkan mutu profesi.  Timbul-tenggelam dan tangguh-rapuhnya, kebudayaan dipengaruhi oleh apa yang terjadi dalam “dialog budaya internal”, seberapa tinggi kesadaran komunitas pendukungnya. dan kelenturannya beradaptasi terhadap zaman yang berubah.

 

Bertolak dari pemahaman itu, agar Sivitas Akademika UGK menjadi pusat pemikiran adaptasi budaya sains dan teknologi global. Namun meski teknologi juga membawa budayanya sendiri, hendaknya adaptasi itu tetap berakar pada kearifan budaya lokal guna mengukuhkan jatidiri bangsa yang baru. Membangun peradaban sebagai inti kebudayaan, harus terus menggali, menimbun, menggali lagi lubang yang baru, begitu seterusnya, sebuah repetisi sirkuler proses tesa-antitesa-sintesa, atau konstruksi-dekonstruksi-rekonstruksi, agar bisa membangun borobudur-borobudur baru sebagai monumen Abad-21.

 

Jika dirangkum, ada tiga peran penting kebudayaan. Pertama, pengikat cita-cita dan rasa kebersamaan antarbangsa, antarkomunitas, atau antarkeluarga sebagai binding power. Kedua, pemberi arah dan muatan pendidikan teologis, etis, etiketis, dan estetis. Ketiga, media rekonsiliasi, negosiasi dan akulturasi guna meningkatkan martabat bangsa.



Tantangan (2): Adakah kita memiliki keunggulan budaya lokal yang terekspresi sebagai local genius (kecerdasan lokal) dan local wisdom (kearifan lokal) yang dapat dijadikan pondasi membangun budaya bangsa yang unggul?

 

Universitas Berbasis Budaya

Salah satu pilar Keistimewaan DIY adalah Kebudayaan, yang jika dielaborasi memuat basis nilai-nilai budaya Yogya, yang secara berturut-turut peringkat nilainya terdiri atas:

 

  1. Dimensi Spiritual: Sangkan-Paraning Dumadi;

  2. Dimensi Filosofis: Hamêmayu-Hayuning Bawânâ;

  3. Dimensi Paradigma Lingkungan:

Mangasah Mingising Budi, Mêmasuh Malaning Bumi;

  1. Dimensi Kepemimpinan dan Kepemerintahan Berbasis Kerakyatan: Manunggaling Kawulâ-Gusti, Golong-Gilig, dan Tahta Untuk Rakyat; dan

  2. Dimensi Etos Kerja: Sawiji, Grêgêt, Sêngguh, Ora-Mingkuh.

 

Ke lima dimensi yang terdiri atas tujuh aspek nilai-nilai itu seharusnya juga merasuk dan meresap menjadi nulai-nilai yang menjadi dasar penyusunan Master Plan Akademik yang terwujud dalam kurikulum, silabus dan proses perkuliahan. Sekarang ini adalah masanya untuk membumikan nilai-nilai filosofi itu, agar meresap-merasuk menjadi kaidah penuntun perilaku dan tindakan Sivitas Akademikanya yang berbudaya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.



Dari Nilai-Nilai ke Perilaku

Nilai-nilai budaya Yogya yang disebutkan di atas, bisa dibagi dalam tiga tataran. Pertama, nilai dasar, bersifat abstrak dan tetap, terlepas dari pengaruh perubahan waktu dan tempat dengan kandungan kebenaran bagaikan aksioma yang tak terbantahkan. Dari kandungan nilainya, nilai dasar berkenaan dengan eksistensi yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khas, yang menjadi fondasi keIstimewaan Yogyakarta yang bersifat permanen.

 

Kedua, nilai instrumental, kontekstual dengan tuntutan zaman, penjabaran nilai dasar sebagai arahan untuk kurun waktu dan kondisi tertentu. Penjabarannya bisa dilakukan secara kreatif-dinamik dalam bentuk-bentuk baru dalam batas-batas nilai dasar yang dimungkinkan. Dari kandungan isinya, nilai instrumental merupakan sistem, kebijakan, strategi, pengorganisasian, rencana, atau program yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut, dan harus tetap mengacu pada nilai dasar sebagai sumbernya.

 

Ketiga, nilai praksis, terekspresikan dalam kehidupan sehari-hari, cara rakyat mewujud-nyatakan nilai-nilai filosofis itu. Dari kandungan isinya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara nilai-nilai ideal dan aktual. Pada nilai praksislah ditentukan tegak atau rapuhnya nilai dasar dan nilai instrumental itu. Bukan pada rumusan abstrak, dan bukan juga pada kebijakan, strategi, rencana, atau program terletak batu ujian terakhir dari nilai-nilai, tetapi pada kualitas aktualisasinya di lapangan.

 

Yang terpenting dalam filosofi adalah bukti pengamalan atau aktualisasinya di masyarakat sebagai living philosophy. Suatu filosofi dapat dirumuskan secara ideal dengan argumen yang logis dan konsisten terhadap nilai dasar dan nilai instrumentalnya. Tetapi, jika rumusan nilai praksisnya tidak dapat diaktualisasikan, maka filosofi itu akan kehilangan legitimasi. Karena, tantangan terbesar suatu filosofi adalah menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya tersebut.

 

Untuk menjaga konsistensi dalam implementasi nilai-nilai normatif ke dalam praktik, maka nilai-nilai yang abstrak-umum-universal itu perlu ditransformasikan menjadi rumusan yang riil-spesifik-kolektif, bahkan bersifat individual. Artinya, nilai-nilai filosofi itu menjadi sifat-sifat dari subyek kelompok dan individu, sehingga menjiwai perilaku dalam lingkungan praksisnya di bidang ketugasan, profesi, dan kehidupan pribadi. Implementasinya digambarkan sebagai gerak transformasi dari kategori tematis, berupa konsep, dan teori, menjadi kategori imperatif, berupa norma-norma, dan berlanjut menjadi kategori operatif, berupa praktik hidup.

 

Harus ada pilihan medium antara, yang mentransformasikan nilai-nilai menjadi kesadaran, sehingga membentuk sikap dan perilaku warga masyarakat yang mengekspresikan nilai-nilai adiluhung yang kita miliki itu.




Catatan Akhir

Untuk memberikan bahan rujukan, saya ingin menegaskan pendapat filosof sosial John Dewey, bahwa sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyaan “what-is” yang normatif harus disublimasikan dengan pernyataan “what-for” dalam filsafat praktis.

 

Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama, seperti Charles S. Pierce, William James dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William disebut filosof agama, dan Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.

 

Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan ini, ia menyatakan: “Menurut teori pragmatis tentang kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku (works), atau memuaskan (satisfies), berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut”.

 

Sementara itu, William menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value, dengan menyatakan: “Ide-ide yang benar adalah yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak demikian”. Untuk membedakan dengan dua pendahulunya, Dewey menamakan pragmatisme sebagai instrumentalisme atau eksperimentalisme.

 

Pierce memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran biasa menjadi ilmiah, tetapi William memandangnya sebagai theory of meaning dan theory of truth. Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai ide, gagasan, pikiran, dan inteligent yang merupakan instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.

 

Akhir kata, saya ucapkan: Selamat dan turut berbahagia, atas keberhasilan wisudawan dan wisudawati, dalam menempuh pendidikan di UGK. Semoga setiap langkah  senantiasa dihiasi prestasi, dan semogalah pula, setiap upaya, senantiasa menjadi kontribusi terbaik, untuk masyarakat, bangsa, dan  negara.




Gunungkidul, 16 Desember 2023