BIRO UMUM HUMAS & PROTOKOL

SEKRETARIAT DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Orasi Budaya STRATEGI KEBUDAYAAN DALAM PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

Disampaikan dalam acara:

Seminar Nasional “Rakyat Mencari Pemimpin”

 

Jakarta, 06 Februari 2024




Pengantar

Bangsa yang memiliki Strategi Kebudayaan, menurut CA van Peursen, berarti juga memiliki pembimbing dalam gerak proses modernisasi dan pembangunan, sehingga mampu menjaga dan memperkuat kepribadian nasional, kontinuitas kebudayaan, dan kemampuan untuk mandiri, sekaligus memperkuat kesatuan nasionalnya. Membicarakan topik “Strategi Kebudayaan dalam Pembangunan dan Kepemimpinan”, harus memahami dulu peta perubahan kebudayaan suatu bangsa, hakikat pembangunan dan konsep kekuasaannya (kepemimpinan).

 

Dari Mitis ke Analitis

Menurut teorema van Peursen, fase-fase perkembangan kebudayaan dibagi menjadi tahap-tahap mitis, ontologis dan fungsional. Tahap mitis merujuk pada saat manusia merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya. Ketika orang berpikir bahwa api yang panas itu memiliki tenaga gaib, ia berpikir secara mitis. Ia tidak mengambil jarak antara obyek dan dirinya. Dalam tahap ontologis, sikap manusia bergerak menuju ke upaya eksploratif, tumbuh keinginan untuk meneliti segala sesuatu. Ketika dalam penelitian itu, ia menemukan apa sebenarnya panas itu, lalu mensimbolkannya dalam rumus-rumus fisika, ia berpikir ontologis. Ia mengambil jarak dengan obyek.

Ketika kemudian menggunakan tenaga api itu untuk kesejahteraan hidupnya, ia berpikir fungsional, yang menggambarkan sikap dan alam pikirannya semakin maju dan rasional. Mereka tidak lagi terlalu tergantung pada lingkungannya (sikap mitis), atau mengambil jarak yang tegas dengan obyek (sikap ontologis), tetapi juga mengadakan relasi-relasi baru dengan segala sesuatu dalam lingkungannya.

Tidak hanya dalam kehidupan agraris saja, tetapi juga di berbagai bidang kehidupan, termasuk di dunia politik, suasana berpikir mitis itu masih nampak kuat sekali. Misalnya, bukan hanya upacara tolak-bala menjelang tanam padi oleh kaum tani, tetapi juga menjelang Pemilu ini banyak para politisi yang menggunakan jasa paranormal dan pedukunan. Meski demikian, di sisi lain alam pikiran mitis itu, mulai terkikis oleh masuknya teknologi. Karena dengan teknologi, transformasi berpikir ke alam pikiran ontologik dan fungsional terjadi dengan lebih cepat.

 

Budaya adalah Strategi Unggul

Sejatinya budaya adalah strategi bertahan hidup untuk menang. Inti dari kebudayaan bukanlah budaya itu sendiri, tetapi strategi kebudayaannya! Budaya tinggi, tidak selalu berwujud kesenian yang rumit, melainkan dibuktikan dari “how survival is the nation”. Disiplin diri, merupakan hal penting dalam setiap upaya membangun dan membentuk karakter sebuah masyarakat-bangsa. Sebab karakter mengandung pengertian suatu kualitas positif dengan kepribadian khas yang dimiliki suatu bangsa, sehingga membuatnya memiliki reputasi.

Karakter bangsa, adalah kata yang selalu muncul dan seringkali menjadi penutup diskusi, perihal penyebab keterpurukan bangsa di berbagai bidang. Bukan hal baru untuk menyatakan bahwa karakter bangsa kita, ekstrimnya, sedang berada di titik nadir. Perbaikan karakter bangsa diyakini merupakan kunci terpenting agar bangsa Indonesia bisa bangkit dari berbagai keterpurukan guna menyongsong nasibnya yang baru.

Menjadi kewajiban kita semua untuk bisa membawa bangsa ini keluar dari pusaran arus turbulensi nasional, menapaki tegalan berbatu-batu, lalu mendaki bukit keberhasilan nasional dimana Indonesia bakal bisa setaraf dengan bangsa maju di dunia. Untuk itu, bangsa kita harus menumbuhkan sebuah kultur baru: “kultur keunggulan di semua bidang kehidupan bangsa, terutama dimulai di arena pendidikan”.

Tema keunggulan memang sangat menentukan tingkat kemajuan dan martabat suatu bangsa, yang harus digerakkan oleh visi akbar yang menggetarkan bahkan sanggup meminta pengorbanan dari segenap warganya, dipandu oleh strategi cerdas agar sumber daya yang terbatas pun bisa cukup, dimotori oleh inovasi-inovasi kreatif, dikawal oleh sikap antisipatif, dan didukung oleh karakter ketekunan.

Akhirnya kita menyimpulkan bahwa basis keunggulan sebuah bangsa, nyata- nyata dan tak bisa lain, ialah manusia unggul juga: spiritualitasnya, intelektualitasnya, dan etos kerjanya.

Manusia-manusia unggul demikianlah yang menghasilkan kitab Sutasoma, Negarakertagama, Serat Centhini, Candi Borobudur, atau pilar Sosrobahu yang berbasis teknologi konstruksi di masa kini, misalnya. Itulah akar-akar tunggang pohon keunggulan yang pernah kita miliki, yang kini kita cari-cari itu: “the spirit of excellence”. Tetapi spirit itu perlu diberi darah, saraf, otot, dan daging agar menjadi tubuh, artinya menjadi budaya.

 

Hakikat Pembangunan

Pembangunan merupakan suatu proses budaya yang holistik, mencakup aspek manusia (anthropos), lingkungan (oikos), teknologi (tekne), dan komunitas (ethnos), menekankan pentingnya pembangunan yang berpusat pada manusia dan interaksinya dengan lingkungan, teknologi, dan komunitas. Pembangunan yang sukses tidak hanya diukur dari peningkatan ekonomi dan politik, tetapi juga dari humanisasi dan penerapan nilai-nilai kemanusiaan. Refleksi budaya dalam pembangunan diperlukan untuk memastikan bahwa kemajuan membawa makna yang mendalam bagi kehidupan bangsa Indonesia.

 

Pemimpin yang Kuat: Konsisten, Tegas dan Tidak Ambivalen

Jikalau saja kita bisa menemukan seorang pemimpin kuat yang akan memimpin bangsa dan negara ini, niscaya ia akan menjadi orang besar, setelah berbagai krisis mampu diatasinya. Orang kuat ini berkualitas transenden, menembus dimensi temporal dan spasial, mengatasi karakter-karakter pemimpin yang selama ini kita kenal. Jenis orang kuat ini harus “berjodoh” dengan impian masyarakat Indonesia sekarang.

Kita tidak bisa lagi meniru orang kuat bangsa-bangsa lain. Orang kuat itu kontekstual. Orang kuat kita di masa lampau, belum tentu cocok dengan konteks kebutuhan sekarang. Orang kuat yang kita cari kini, belum tentu akan menjadi kuat sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Apalagi menjiplak orang kuat dalam sejarah bangsa-bangsa lain, karena mereka memiliki orang kuatnya masing-masing. Setiap zaman melahirkan orang kuatnya sendiri. Nilai-nilai sezaman membutuhkan kualitas orang kuatnya sendiri. Pemimpin yang diinginkan adalah yang kuat karakternya, yang tidak ragu untuk membenarkan dan menyalahkan. Pemimpin yang tidak melihat batas-batas golongan dan kepentingan.

Bila kualitas pemimpin yang demikian itu terpilih menjadi orang kuat, maka kebesarannya akan diuji. Kualitas pemimpin yang demikian itu akan ada di tengah-tengah dualisme yang plural ini. Ia akan “terjepit” antara yang kanan dan kiri, antara mayoritas dan minoritas, antara yang keras dan yang lunak. Kreativitas dan kepekaannya diuji. Di saat-saat inilah keberanian dan ketegasannya terhadap kebenaran mendapatkan tantangannya. Krisis-krisis besar kepemimpinan semacam ini, tidak jarang memakan korban dirinya sendiri.

Tarik-menarik kepentingan dualistik yang plural inilah ciri khas konteks Indonesia. Orang kuat Amerika mungkin hanya menghadapi dualisme dua partai, tidak ada lagi dualisme rasial. Tetapi, di Indonesia masih menggejala bagaikan api dalam sekam, dualisme partai-partai, dualisme kepercayaan, dualisme rasial, dualisme Bagian Barat dan Timur, dualisme anak emas dan anak tiri.

Sesungguhnya yang dualistik itu bisa menjadi pasangan komplementer. Karena itu, api di bawah sekam ini akan mudah dipadamkan bila tidak datang tiupan. Belajar dari pengalaman sejarah, orang Indonesia dasarnya terbuka, toleran, mudah diatur, mudah patuh, tidak banyak menuntut, suka mengakurkan hal-hal dualistik, siap menerima yang asing, 'tidak menyukai sesuatu yang ekstrem.

Orang kuat Indonesia adalah pemimpin yang memenuhi kebutuhan “dunia tengah” manusia Indonesia, di tengah-tengah krisis ini. Dunia tengah itu menyeimbangkan kembali gerak ekstremitas ketidaksukaan terhadap karakter pemimpin-pemimpinnya yang sekarang. Gerak pendulum yang terlalu ke kanan ini, harus ditarik kembali ke arah kiri.

Dan itu hanya dapat dilakukan oleh orang kuat, yang berkarakter sederhana, jujur, tulus, memikirkan rakyat kecil, seperti Bung Hatta. Kharismatik dan patriotik seperti Bung Kamo. Berani dan blak-blakan seperti Gus Dur. Kosmopolit seperti Syahrir. Transenden seperti Mangunwijaya.




Strategi Kebudayaan

Bertolak dari pemikiran pembangunan adalah proses budaya dengan tujuan humanisasi atau “memanusiakan manusia”, maka perlu disusun strategi kebudayaan yang setepat-tepatnya. Penyusunan strategi kebudayaan perlu dibuat dengan persepsi budaya yang komprehensif, yang memiliki cakupan luas terhadap seluruh aspek perikehidupan berbangsa dan bernegara.

Strategi kebudayaan dimaksudkan untuk menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian dengan serba permasalahan dan tantangannya. Oleh sebab itu, strategi kebudayaan harus berorientasi ke depan, sebagaimana konsep progresif budaya yang diintrodusir oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Strategi kebudayaan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dengan memperhatikan pada ketiga catatan tersebut, maka strategi kebudayaan dapat dirumuskan sebagai: “menciptakan tingkat dan suasana kehidupan masyarakat yang bermartabat dan mandiri”.

Strategi kebudayaan sesungguhnya mengandung dua aspek penting yang bagaikan dua sisi mata uang. Pertama, menunjuk pada strategi pengelolaan cara bangsa dan warga bereaksi, berpikir dan bekerja dalam menumbuhkan proses berbangsa. Kedua, menunjuk pada strategi menumbuhkan nilai keutamaan berbangsa yang menjadi dasar dari cara bertindak, berpikir dan bereaksi tersebut. Sebutlah misalnya, nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, profesionalisme, etika, respek, rasa malu, keija keras, toleransi, cinta tanah air dan lain sebagainya. Strategi kebudayaan sesungguhnya mensyaratkan kemampuan menghidupkan filosofi suatu negara dengan sistem hukumnya, tanpa lepas dari aspek historisnya. Di sisi lain, mensyaratkan program kerja dan manajemen bernegara, agar secara sosiologis mampu hidup dan dirasakan sehari-hari oleh masyarakat dalam berbagai bentuknya.

 

Catatan Akhir

Strategi kebudayaan pada hakikatnya adalah strategi untuk menumbuhkan produktivitas berbagai aspek hidup berbangsa berdasarkan skala prioritas. Skala prioritas ini dikelola berdasar pemetaan sosial politik, daya tumbuh ekonomi, pilihan nilai keutamaan dan program kerja lewat kebijakan politik.

Perlu saya pertegas, bahwa strategi kebudayaan bukanlah strategi yang hanya bisa tumbuh ketika negara telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik. Justru seluruh strategi kebudayaan yang jenial, ditumbuhkan ketika negara mengalami krisis ekonomi dan sosial, serta mengalami percepatan perubahan politik yang penuh gejolak, seperti halnya Indonesia sekarang ini. Mengingat di balik strategi kebudayaan ini, tidak hanya terdapat cita-cita, namun juga panduan nilai berbangsa, daya kerja, dan metoda pemecahan masalah dengan skala prioritas yang memerlukan kepekaan para pemimpinnya akan “sense of crisis” dan “sense of urgency”.

Maka, “Strategi Kebudayaan dalam Pembangunan dan Kepemimpinan” adalah membangun dan menguatkan keindonesiaan, dengan mengembangkan media saling sapa antarbudaya-budaya etnik, sebagai titik awal untuk membangun dialog budaya yang saling merekatkan kebudayaan masing-masing melalui proses yang bernilai dan elegan, dari keMinangan, keFloresan, keJawaan, keBugisan, keAcehan, keBatakan, keDayakan, kePapuaan dan seterusnya. Oleh sebab itu, marilah kita berhenti mengeluh, untuk kemudian menyingsingkan lengan baju, bekerja keras dan bertindak rasional menuju Indonesia Baru yang bermartabat. Semoga!

 

Jakarta, 06 Februari 2024