BIRO UMUM HUMAS & PROTOKOL

SEKRETARIAT DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ORASI BUDAYA GAGAS RI BERDAULAT UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT

Diselenggarakan oleh: Kompas Grup Media (KG Media)

Jakarta, 6 Februari 2024



Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Salam Damai Sejahtera Bagi Kita Semua,

Om Swastiastu,

Namo Buddhaya,

Salam Kebajikan,

Rahayu.



Pada kesempatan yang sarat dengan nilai dan kebermaknaan ini, melalui acara Gagas RI, perkenankanlah saya mengajak seluruh hadirin dan masyarakat Indonesia, untuk bersama-sama menelisik dan mendalami intisari moralitas yang diwariskan oleh Kraton Yogyakarta.

Kraton Yogyakarta, dapat berdiri atas kebijaksanaan Sultan Hamengku Buwono I, atau yang dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi. Dalam perjalanan sejarahnya, Kraton dan Kota Yogyakarta, dirancang dengan ketelitian yang mengagumkan, dihiasi simbol-simbol yang kaya akan makna.

Berbagai ajaran dan filosofi hidup yang ditanamkan oleh Pangeran Mangkubumi, telah menunjukkan ketahanannya terhadap ujian waktu. Nilai-nilai itu terus berperan, sebagai kompas dalam navigasi tata kelola Kraton Yogyakarta, dan pada akhirnya mewarnai birokrasi Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. Adalah Pangeran Mangkubumi pula, yang dengan penuh kearifan meletakkan fondasi budaya Mataram, menginspirasi tidak hanya area Kraton, tetapi juga menyentuh jiwa seluruh rakyat Yogyakarta.

Dari sekian banyak ajaran moral yang ada, mari kita resapi makna dua prinsip utama, Hamemayu Hayuning Bawana dan Manunggaling Kawula Gusti, sebagai media refleksi, dalam menghadapi tantangan pembangunan dan demokrasi saat ini. Prinsip-prinsip ini, yang terbentuk dari kebijakan luhur dan pandangan hidup yang universal, membawa kita pada sebuah pemahaman: “bahwa kepemimpinan yang berwibawa tidak hanya berarti memegang kekuasaan, tetapi juga memelihara keseimbangan dan harmoni manusia dengan alamnya, serta menyatukan pemimpin dan rakyat, dalam satu visi dan misi yang sama”.

 

Hamemayu Hayuning Bawana

Dalam filosofi "Hamemayu Hayuning Bawana" terkandung kewajiban “Tri Satya Brata”. Pertama, “rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa”—bahwa kesejahteraan dunia tergantung manusia yang memiliki ketajaman rasa— yang menunjuk pada harmoni hubungan antara manusia dengan alam, baik dalam lingkup dunia sebagai kewajiban "Hamangku Bumi", maupun lingkup yang lebih luas dalam seluruh alam semesta (universe) sebagai kewajiban ”Hamengku Buwana”.

Kedua, “darmaning manungsa mahanani rahayuning negara” (tugas hidup manusia adalah menjaga keselamatan negara), sebagai kewajiban manusia selama hidup di dunia, dimana kehidupan merupakan dinamika manusia, yaitu "Hamengku Nagara". Ketiga, “rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane”—bahwa keselamatan manusia oleh kemanusiaannya sendiri.

Sehingga dapat dimengerti, jika filosofi ”Hamemayu Hayuning Bawana” itu menyandang misi akbar bagi manusia di dunia dalam tiga substansi tersebut, yaitu: "Hamengku Nagara, Hamangku Bumi, Hamengku Buwana".

Bahwa kewajiban ”Hamengku Nagara" itu, karena Tuhan menciptakan manusia yang berbeda-beda, bergolong-golong dan bersuku-suku, sehingga diperlukan adanya negara dan pemerintahan yang mengaturnya, agar tidak terjadi seling-surup dan saling-silang antar manusia.

Manusia wajib "Hamangku Bumi", karena bumi sebagai lingkungan alam, telah memberikan sumber penghidupan bagi manusia, untuk bisa melanjutkan keturunan dari generasi ke generasi, sehingga manusia wajib pula menjaga dan memelihara kelestariannya.

Sementara itu, "Hamengku Buwana" merupakan kewajiban manusia yang lebih luas, dalam mengakui, menjaga dan memelihara seluruh isi alam semesta, agar tetap memberikan kekuatan bagi kehidupan manusia, seperti adanya bulan, matahari dan planet-planet yang lain.

Pada hakikatnya, makna yang tersandang dalam "Hamengku, Hamangku dan Hamengkoni" itu, adalah tugas dan kewajiban mulia manusia, untuk mengagungkan asma Allah, seiring menjadikan perbuatan baik kepada sesama, dan alam lingkungannya, sebagai bukti bahwa ia benar-benar hidup.

 

Manunggaling Kawula-Gusti

Demokrasi tidak akan datang, tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Demokrasi, memerlukan ikhtiar dari setiap warga negara dan perangkat pendukungnya, untuk menjadikan demokrasi sebagai sejatinya pandangan hidup (way of life) dalam kehidupan bernegara.

“Manunggaling Kawulâ-Gusti“, memberikan pengertian bahwa manusia secara sadar harus mengedepankan niat baik secara tulus ikhlas dalam kehidupannya. Dalam hal kepemimpinan, “Manunggaling Kawulâ-Gusti” adalah mampu memahami dan sadar kapan kita memimpin (sebagai leader) dan kapan kita dipimpin (sebagai follower). Ketika memimpin, harus mementingkan kepentingan yang dipimpin, sedang pada saat dipimpin mengikuti kepemimpinan sang pemimpin.

Dalam konteks keyogyaan, pengertian “gusti” lebih menekankan pada makna institusi kepemimpinan, dan bukannya figur atau pribadi tunggal seorang Sultan. Dalam pengertian tersebut, maka ajaran ini sesungguhnya telah mengajarkan satu sistem demokrasi modern, suatu lembaga kepemimpinan yang terbuka untuk diakses oleh kawulâ—atau rakyat dan masyarakat luas. Demikian juga sebaliknya, “gusti”—atau  pemimpin, harus dengan sangat ringan kaki turun ke bawah, berdialog dengan kawulâ.

Dalam konteks sejarah, praktikum dari filosofi ini, dapat dibaca pada kasus-kasus didapatinya pemimpin yang mampu memenangkan hati rakyat. Pemimpin yang dengan amat ringan hadir di tengah masyarakat, yang tengah mengalami kesulitan dan kebingungan. Seorang pemimpin yang benar-benar sadar akan makna “Salus populi suprema lex esto—bahwa hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat”. Banyak tokoh dunia dan nasional yang mempraktekkan model kepemimpinan seperti ini, dan sangat berhasil membawa perubahan bagi wilayah atau negara yang dipimpinnya.

Pada masa lampau, kita bisa melihat bagaimana Gandhi mampu ber-“manunggaling kawulâ-gusti” dengan konsep “ahimsa” dan “satyagraha”-nya. Dunia juga membuktikan penemuan Bung Karno tentang kaum marhaen, setelah dia melakukan “manunggaling kawulâ-gusti”. Bahkan, Nelson Mandela mampu ber-“manunggaling kawulâ-gusti” bersama rakyat untuk melawan politik apartheid.

Fakta itu seakan menunjukkan, dimensi “Manunggaling Kawulâ-Gusti“, sebagai ajaran yang menjadi komitmen bersama antara Raja—selaku “leader” dengan Rakyat—atau “follower” secara manunggal, untuk memutuskan arah pembangunan menuju peradaban baru, yang lebih sejahtera, adil, demokratis, dan berbudaya.

Dari Yogyakarta, “Tahta Untuk Rakyat”, yang menjadi komitmen Sri Sultan Hamengku Buwono IX, adalah contoh nyata kepemimpinan “Manunggaling Kawulâ-Gusti“ yang dijiwai filosofi “Hamêmayu-Hayuning Bawânâ”, dengan etos kerja “Sawiji, Grêgêt, Sêngguh, Ora-Mingkuh”, secara substansial memiliki sifat empati kepada kawulâ atau masyarakat.

 

Strategi Kebudayaan Untuk Membangun Indonesia

Bertolak dari pemikiran pembangunan adalah proses budaya, dengan tujuan humanisasi atau “memanusiakan manusia”, maka perlu disusun strategi kebudayaan yang setepat-tepatnya. Penyusunan strategi kebudayaan, perlu dibuat dengan persepsi budaya yang komprehensif, yang memiliki cakupan luas terhadap seluruh aspek perikehidupan berbangsa dan bernegara.

Strategi kebudayaan, dimaksudkan untuk menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian dengan serba permasalahan dan tantangannya. Oleh sebab itu, strategi kebudayaan harus berorientasi ke depan, untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.  Maka strategi kebudayaan dapat dirumuskan sebagai: “menciptakan tingkat dan suasana kehidupan masyarakat yang bermartabat dan mandiri”.

Strategi kebudayaan sesungguhnya mengandung dua aspek penting yang bagaikan dua sisi mata uang. Pertama, menunjuk pada strategi pengelolaan cara bangsa dan warga bereaksi, berpikir dan bekerja dalam menumbuhkan proses berbangsa. Kedua, menunjuk pada strategi menumbuhkan nilai keutamaan berbangsa yang menjadi dasar dari cara bertindak, berpikir dan bereaksi tersebut. Sebutlah misalnya, nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, profesionalisme, etika, respek, rasa malu, kerja keras, toleransi, cinta tanah air dan lain sebagainya.

Strategi kebudayaan, sesungguhnya mensyaratkan kemampuan menghidupkan filosofi suatu negara dengan sistem hukumnya, tanpa lepas dari aspek historisnya. Di sisi lain, mensyaratkan program kerja dan manajemen bernegara, agar secara sosiologis mampu hidup, dan dirasakan sehari-hari oleh masyarakat dalam berbagai bentuknya.

 

Implikasinya untuk Demokrasi Indonesia

Satu hal yang patut digarisbawahi, bahwa strategi kebudayaan bukanlah strategi yang hanya bisa tumbuh ketika negara telah mengalami pertumbuhan yang baik. Justru seluruh strategi kebudayaan yang jenial, ditumbuhkan ketika negara mengalami dinamika ekonomi dan sosial, serta mengalami percepatan perubahan politik, seperti halnya Indonesia sekarang ini.

Mengingat di balik strategi kebudayaan ini, tidak hanya terdapat cita-cita, namun juga panduan nilai berbangsa, daya kerja, dan metoda pemecahan masalah, dengan skala prioritas yang memerlukan kepekaan para pemimpinnya, akan “sense of crisis” dan “sense of urgency”.

Misi humanisasi atau “memanusiakan manusia” dan “menciptakan tingkat dan suasana kehidupan masyarakat yang bermartabat dan mandiri” dalam konteks demokrasi, dapat tercapai apabila para pemimpin dan rakyat sudah meresapi makna “Tri Satya Brata”. Hal ini dapat diindikasikan dari nilai “rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa” —bahwasanya harmoni demokrasi terjadi secara alamiah, dengan tidak terkotak-kotaknya masyarakat, hanya karena berbeda calon dan aspirasi. Apalagi hujat-menghujat dan bermusuhan, karena berada di pihak yang berbeda kubu dan partai.

Demikian pula dengan aparat pemerintah dalam konteks pemilihan serentak, konsep “darmaning manungsa mahanani rahayuning negara”, hendaknya terejawantah dengan mengedepankan netralitas dan kesahajaan dalam menyikapi hak politiknya, sesuai peraturan yang telah ditetapkan. Mereka tetap profesional, bekerja melayani masyarakat tanpa terganggu oleh hingar-bingar pesta demokrasi.

Dengan adanya sikap tak jumawa dan mengedepankan kelapangan dada, “samadya”, dan “among rasa” apapun hasil pemilihan nanti, pada akhirnya menunjukkan derajat budaya demokrasi Indonesia. Karena bagaimanapun, pemilihan serentak lebih dari sekadar “olah-politik”, Pemilu adalah juga “olah-budaya” untuk meningkatkan mutu “budaya-demokrasi”, agar tumbuh subur dan kuat mengakar menjadi “budaya-rakyat”.

Suasana nyaman dan aman mestinya dibangun, layaknya suasana sebuah peradaban Indonesia yang berbudaya dan berkeadaban. Mewujudkan pemilihan serentak yang berbudaya, adalah dengan mengendalikan konflik sosial, agar terhindar dari intrik dan intimidasi, provokasi, pelecehan, ujaran kebencian, berita bohong, politik SARA dan politik uang, atau pun pencemaran nama baik.  Inilah cerminan “rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane”, diiringi landasan moral “Manunggaling Kawula Gusti” oleh segenap pemimpin dalam berbagai tingkatan pemerintahan, maupun suri-tauladan yang ada di masyarakat.

Itulah makna dwitunggal “Hamemayu Hayuning Bawana dan Manunggaling Kawula Gusti”, dalam setiap periode masa kehidupan Yogyakarta. Itulah pula yang menjadi pedoman, dan diharapkan menjadi energi, untuk mewujudkan tataran “Berdaulat untuk Kesejahteraan Rakyat”. Dan jika memang demikian adanya, maka Insha Allah, Pemilihan Serentak akan merekatkan kohesi sosial dan integrasi kebangsaan, seiring ikhtiar segenap komponen bangsa dan rakyatnya, membangun peradaban Indonesia yang “Panjang Dawa Pocapane, Punjung Luhur Kawibawane”; Indonesia yang makmur sejahtera, berdaulat, dan harum semerbak namanya.

Sekian, terima kasih!

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh



Jakarta, 6 Februari 2024